Di kalangan masyarakat Flores, bukan rahasia lagi kalau musik reggae sudah mendarah daging dengan warga Maumere. Namun, apakah klaim ini serta merta bisa dibaca oleh orang-orang di luar Flores? Atau ia hanya sekedar mitos?
The Noizer berkesempatan ngobrol dengan Yossi Mula atau yang biasa disapa abang tombol gembira tentang sepak terjang Maumereggae, sebuah komunitas musisi yang kemudian dipakai sebagai nama festival musik reggae pertama di bumi Nusa Nipa.
Menurut Yossi, nama Maumereggae bukan jatuh begitu saja dari atas langit.
‘Maumereggae sebenarnya bukan nama yang baru. Nama ini sudah dipakai oleh Om Valen Vardam dan teman-teman dulu sekali. Saya kemudian dapat inspirasi dan bikin satu grup whatsapp pakai nama ini untuk bikin komunitas reggae,’ ungkap Yossi.
Valen Vardam sendiri adalah salah satu eksponen penting grup musik Florasta, band reggae asal Maumere yang santer beredar di era 90-an.
Menurut Yossi, sudah sejak lama musik reggae jadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Maumere. Musisi-musisi dari Maumere pun banyak yang memainkan reggae. Namun, setelah Florasta, belum lagi ada grup band reggae dari Maumere yang produktif menciptakan karya. Black Finit yang sempat popular di pertengahan era 2000 memilih solo karir di Jawa daripada pulang dan berkarya di Maumere.
‘Saya buat Maumereggae sebenarnya untuk memacu teman-teman berkarya. Musisi reggae banyak tapi gigs sedikit. Karena niat awal bikin komunitas tidak jalan, teman-teman sibuk dengan urusan masing-masing, jadi Maumereggae dijadikan festival saja.’
Festival Maumereggae tercatat sudah dilaksanakan sebanyak dua kali sejak tahun 2022 lalu. Festival pertama diadakan di Pusat Jajanan dan Cinderamata Maumere. Perhelatan perdana itu diikuti oleh 13 band reggae, beberapa di antaranya sudah cukup popular seperti Leis Plang, Postman, Selinbetir dan The BaFour, Festival kali itu juga diikuti satu band reggae dari Adonara (MaumereJamaica) dan Ende (Invia).
Festival tahun kedua pada 2023 lalu dihelat dengan tema Deeper The Roots, Stronger The Tree, di ACB Cafe, kawasan pantai Lokaria, Maumere. Perhelatan kedua diikuti oleh 9 grup band. Perhelatan kali ini melahirkan beberapa grup band reggae genenarsi baru seperti Who’s That Girl yang seluruh personelnya adalah perempuan.
‘Maumereggae ini kan ajang untuk teman-teman kasi dengar mereka punya karya ke publik. Selain lewat digital, ini kesempatan untuk ketemu penonton. Biar band yang lain juga bisa lihat dan panas untuk bikin karya.’
Menurut Yossi, dua perhelatan awal Maumereggae dirancang dan diwujudkan secara organik oleh para musisi reggae di Maumere. Di satu sisi, ia menyadari betul bahwa inisiatif-inisiatif ini mesti dimulai dengan investasi dari para musisi sendiri. Meski begitu ia tetap menyoroti respons yang sangat lambat dari pemerintah daerah untuk mendukung inisiatif warga, dalam hal ini seniman yang sudah mandiri bergerak secara kreatif.
‘Untung kita punya teman-teman kuat (solid, red) untuk saling bantu. Vendor dan komunitas seperti KAHE juga support kita. Sebenarnya festival seperti ini jadi peluang tidak hanya promosi karya tapi juga promosi kita punya daerah. Kasi tunjuk kalau kita ni benar-benar kota reggae’ demikan Yossi.
Ungkapan Yossi bukan tanpa bukti sebab Maumereggae sendiri sudah banyak berjejaring dengan musisi-musisi di tingkat nasional dan internasional seperti Ivan Nestorman, Conrad Good Vibration, Steven and The Coconutreez, Radit Echoman, Marapu, dan banyak lagi lainnya. Bukan tidak mungkin modal sosial ini bisa dipakai buat mengoptimalkan festival dan potensi musisi di Nian Tana serta Flores umumnya. (30/4/2024)(eka)
❤💛💚
Yaw Yaw…
Yaw yaw after 7 pm
Horroooo 🔴🟡🟢
Selalu semangat musikus Nian Tana..
Tetap jadikan reggae sebagai “obat” ketika derita datang. When it hits You, you feel no pain. Yaoyaaww!!!!
Tanya maumere brarti jelas jawaban nya kota reggae 👏😁
Sekedar info: kata Maumereggae pertama kali dibuat oleh wue tango da cunha mantan bassis nya florasta..akhirnya dipakai di florasta sebagai kata² penyemangat.
🇯🇲💚💛❤