Menyantap Kabar Kematian Bunuh Diri

Saya memulai tulisan ini dengan kemarahan. Marah pada siapa?

Saya tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Sebab saya tak yakin bahwa pada hari ini kita sebenarnya tak cukup peduli dengan fenomena bunuh diri. Kita juga tak cukup paham bahwa tindakan kita untuk menyebarkan informasi detail kasus bunuh diri (foto/video, identitas korban, kronologi kejadian) turut menginspirasi manusia yang lain untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hari-hari ini, kita lebih suka menyantap kematian bunuh diri di layar gawai: grup WA, Tiktok, Instagram story, dan sebagainya. Biar apa? Kejar FYP? Mau viral? Atau biar dikira tidak ketinggalan zaman?

***

Tahun 2023. 25 April, malam hari. Saya ingat bagaimana akun Instagram @ntt.update, akun repost minim verifikasi (yang pada deskripsi bionya mengkategorikan dirinya sebagai citizen journalism) itu bikin postingan kabar bunuh diri seorang mahasiswi Flores yang tengah berkuliah di Jogja. Postingannya lengkap dengan nama panjang, umur, kampung asal, nama kampus, fakultas dan prodi. Terpampang jelas foto mahasiswi itu menggunakan jas warna hijau.

Tengah malam, saya hanya mengumpat, maki-maki, dan marah-marah sambil menyusun kata-kata yang pantas untuk ditulis di kolom komentar. Saya me-repost postingan itu di story IG saya. Caption-nya adalah meminta sang admin untuk menghapus postingan dengan informasi yang mahalengkap tersebut.

Usut punya usut, sumber berita itu dari radarsumba.com. Saya baca beritanya, mencari nomor kontak redaksi dan email. Saya juga mencari akun IG media itu, termasuk alamat IG si wartawan yang menulis berita itu. Saya kirim surel, tinggalkan pesan melalui DM Instagram, dan WA ke nomor redaksi. Saya minta berita mereka segera dihapus. Saya sertai juga dokumen dari Dewan Pers terkait Panduan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri di surel. Saya yakin sekali, wartawannya tidak meng-update pengetahuan.

Saya menunggu sampai jam 3 subuh, berharap segera dapat respon dari @ntt.update atau barangkali si wartawan. Agak gila. Jam segitu orang sudah tidur.

Besok siang, saya dapat kabar bahwa @ntt.update sudah menghapus postingan tersebut. Saya juga dapat balasan WA dari redaksi Radar Sumba soal permintaan maaf (yang tidak seharusnya saya terima secara personal, karena mereka bersalah pada korban, pada khalayak dan profesi mereka sebagai jurnalis). Radar Sumba bersedia menghapus berita bunuh diri itu. @ntt.update juga menghapus konten di Instagramnya (meskipun berita kematian bunuh diri dari korban lain tetap di-repost juga).

Sebenarnya menghapus berita bunuh diri di Radar Sumba dan @ntt.update tak cukup. Beberapa media sudah melakukan reproduksi berita serupa dengan Radar Sumba sebagai rujukan. Tentu dengan kesalahan yang sama dan identitas korban diekspos habis-habisan.

Januari 2024, kabar korban gantung diri datang. Kejadiannya di Maumere dan usia korban terlalu muda. Identitas pribadi korban sudah mondar-mandir di reels IG akun repost lain dan platform Tiktok. Konten itu disantap dengan rakus di mana-mana. Belum lagi informasi pribadi korban lengkap dengan kronologi dan pengakuan para saksi beredar di grup WA, menjadi pesan berantai yang nyaris tidak ada ujung.

Banyak orang menunjukan empati dengan memberikan komentar positif. Namun dari semua keramain kabar kematian korban gantung diri itu, dan semua kita yang telah menyebarkannya, kita sesungguhnya telah menimbulkan potensi bagi orang lain untuk meniru tindakan bunuh diri dengan cara serupa.

Saya mengutip tulisan Benny Prawira Siauw pada laman Remotivi yang menjelaskan bahwa pemberitaan bunuh diri yang tidak sehat dapat memicu pemikiran bunuh diri dan bunuh diri tiruan pada kelompok rentan berusia remaja. Fenomena ini disebut sebagai efek Werther.

Menurut Stack (2003), setidaknya terdapat tiga penjelasan mengapa banyak bunuh diri tiruan terjadi setelah pemberitaan bunuh diri yang tidak sehat. Penjelasan pertama, adalah seorang individu mengalami pembelajaran sosial bahwa ada orang lain yang mengalami masalah tertentu dan menyelesaikan masalahnya melalui cara bunuh diri. Pembelajaran sosial membuat orang dengan masalah yang dijadikan asumsi tunggal penyebab bunuh diri dari kasus tersebut (seperti masalah romansa, kesulitan ekonomi, penyakit kronis, perundungan, pemerkosaan dan hal lainnya) menganggap bahwa bunuh diri adalah solusi terbaik untuk masalahnya.

Penjelasan kedua adalah adanya proses identifikasi yang lebih kuat dengan jenis berita bunuh diri tertentu. Kasus bunuh diri selebritas dianggap mempengaruhi lebih banyak orang untuk berpikir bahwa jika mereka yang terkenal, sukses dan berkarier baik saja tidak kuat menjalani hidup, apalagi mereka sebagai orang awam yang menjalani hidup lebih berat.

Hal ini akhirnya menyebabkan kematian bunuh diri selebritas lebih berdampak pada penerimaan tindakan bunuh diri dibandingkan, katakanlah, bunuh diri orang awam. Sebuah studi di Korea (Kim, Park, Nam, dkk, 2013) menunjukkan adanya risiko bunuh diri tiruan lebih lama pada selebritis penghibur dengan durasi sekitar 6 minggu sedangkan kematian bunuh diri politisi mempengaruhi sekitar 4 minggu. Penggunaan metode bunuh diri yang sama juga meningkat sepanjang durasi ini.

Penjelasan ketiga berfokus pada kondisi dari konsumen media. Jika sebuah berita bunuh diri muncul dalam kondisi masyarakat berisiko tinggi (seperti krisis ekonomi, tingkat perceraian tinggi, kesulitan lapangan kerja), maka ia akan memiliki efek bunuh diri tiruan yang lebih tinggi karena adanya lebih banyak orang yang memiliki risiko bunuh diri.

***

Terhitung sejak kematian VM, pada Januari 2024 silam, terjadi 3 kasus bunuh diri susulan di Kabupaten Sikka. Pada Februari 2024, dua korban bunuh diri berasal dari Kecamatan Kangae dan Kecamatan Alok dengan selisih kejadian 12 hari, menyusul 1 korban pada 16 Maret 2024. Keempat korban bunuh diri per Maret 2024 ini terdiri dari dua remaja dan dua orang dewasa awal. Foto dan identitas korban beredar sangat masif di semua platform media sosial.

Padahal, mereka masih punya jalan yang panjang dan kesempatan yang luas untuk merengkuh masa depan. Saya bayangkan jika 10 anak muda yang potensial meninggal dalam setahun karena bunuh diri, NTT tentu punya kehilangan kesempatan besar.

Kabar kematian korban bunuh diri bak ladang subur untuk media massa dan konten kreator. Para wartawan mestinya memperhatikan Pedoman dan Tindakan terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri yang dikeluarkan oleh Dewan Pers pada 22 Maret 2019. Padahal WHO (World Health Organization) juga telah mengeluarkan panduan serupa (Suicide Reporting Guide for the Media) pada 2008.

Salah satu poin pada panduan yang dikeluarkan Dewan Pers adalah “wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang….” Hari-hari ini, terlampau mudah mencari berita dengan nama korban yang tidak disamarkan, foto korban baik yang masih hidup maupun saat tubuh korban masih menggantung.

Saya tahu, bunuh diri terjadi dengan banyak faktor. Media justru termasuk pemicu tidak langsung tindakan bunuh diri ini. Mestinya pemberitaan kasus bunuh diri berfokus pada permasalahan yang dihadapi oleh korban bunuh diri, “bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.”

Maka dari sekarang, tolong berhenti menyebar informasi korban bunuh diri, dan berhenti mengeksploitasi kasus tersebut. Sambil menunggu negara (yang sangat lambat) menangani fenomena ini sebagai masalah sosial. Sambil menunggu hadirnya fasilitas kesehatan mental tersedia dengan akses yang mudah bagi semua kalangan di Maumere. Sambil menunggu, manusia yang lebih melek dalam menyikapi kabar bunuh diri.