Femy Bapa, “Maumere Kota Kreatif Bukan Mimpi yang Terlalu Jauh”

Banyak komunitas anak muda yang tumbuh secara organik di Maumere. Sebut saja Pedas Angel, klub futsal putri pertama di Maumere, Maumereggae, Komunitas Huruf Kecil, Maumere Diver Community, Trash Hero, Maumere TV, Shoes for Flores, Stand Up Comedy Maumere, komunitas mural seperti Belakang Art, dan masih banyak lagi. Komunitas-komunitas ini jadi bukti bahwa anak muda di Maumere berbakat dan punya inisiatif untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan kreatif di kota. Pertanyaannya, adakah sistem pendukung bagi komunitas-komunitas ini agar terus hidup dan bertumbuh?  

Merespons hal ini, After 7PM Radio, radio internet yang diinisiasi oleh Komunitas KAHE dan baru mengudara tepat pada 1 Mei 2024 lalu menggelar sebuah diskusi berjudul “Maumere Kota Kreatif, Kenapa Tidak?”. Diskusi tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 4 Mei 2024 sebagai bagian dari acara Launching After 7PM Radio. 

Diskusi ini menghadirkan Gesyada Siregar (Serum, Jakarta), Femy Bapa (Pj. Sekta Kabupaten Sikka), dan Kristoforus Relianus (pengamat politik dan warga Lokaria), dipandu oleh Qikan dan Dede Aton. 

Gesya adalah seorang kurator seni rupa yang bergiat di Serum dan Gudskul, Jakarta. Bersama beberapa seniman dari Serum, ia sedang melakukan riset tentang kolektif sebagai sekolah di Komunitas KAHE. Ia berpendapat bahwa ruang-ruang kolektif seperti Komunitas KAHE berperan sangat penting dalam hal “mengisi rantai distribusi pengetahuan yang terputus” yang pada konteks Maumere, belum ditopang dengan adanya kampus yang menyediakan program studi seni. 

“Di komunitas ini, saya melihat gimana teman-teman belajar jadi seniman, bagaimana menulis, menyutradarai, menjadi kurator, mengelola produksi pameran atau teater, atau bikin event. Festival, proyek seni atau komunitas itu sendiri menjadi semacam sekolah informal atau alternatif. Anak-anak muda di dalamnya belajar sekaligus mencoba peran-peran dalam kerja-kerja kesenian,” jelas Gesya. 

Sejak tahun 2017, ada undang-undang yang mengatur tentang pemajuan kebudayaan, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalamnya, termaktub peran-peran seperti perlindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan kebudayaan yang penting untuk diwujudkan. Dalam studi kasus yang dilakukan oleh Gesya dan teman-teman, komunitas atau kolektif cenderung mengisi peran-peran pembinaan dan pengembangan ekosistem seni budaya. 

“Bahwa kebudayaan adalah prioritas, tetapi perlu disadari bahwa bukan bidang kebudayaan pemerintahan saja yang mengerjakan “kebudayaan”, tetapi semua lini perlu untuk turut bekerja sama.”

Di sisi lain, pekerja seni punya kerentanan atas kerja-kerja kesenian. Untuk bisa fokus pada satu isu (yang biasanya dikerjakan selama setahun atau lebih), para pekerja seni mesti mengamankan diri dari sisi finansial meskipun pada saat realisasi tidak selalu demikian. 

“Biasanya, orang bingung menilai kerja-kerja kita itu ngapain sebenarnya? Karena tidak menyumbang PAD, duduk-duduk doang, hahahaha.” 

Jika dibandingkan dengan konteks ekonomi kreatif, ada objek atau material yang diciptakan serta berorientasi pada profit sehingga dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya dalam bentuk cinderamata. Sedangkan kerja-kerja kesenian adalah kerja-kerja yang hasilnya tidak tampak, tetapi lebih pada kesadaran dalam pikiran dan bersifat kualitatif.  

Dampak lain dari seni, bagi Gesya bisa dilihat dari adanya orang muda yang paham tentang kerja-kerja kuratorial atau pengetahuan bahwa sangat bisa melakukan riset melalui memori seseorang atau sejarah lisan. Beberapa isu sosial lebih mudah dipresentasikan kepada publik lewat seni. Kesenian bisa juga memicu gerakan massa. Dampak-dampak ini dihasilkan dari kerja-kerja kesenian yang tentu saja prosesnya tidak sebentar. 

“Proses pembangunan kesadaran ini yang kita kejar. Sehingga, kita butuh suatu kerangka yang bisa dipahami oleh pemangku kepentingan, oleh pihak lain, bahwa yang kita kerjakan adalah sesuatu yang kita semua butuhkan.”

Femy Bapa mengapresiasi kehadiran komunitas-komunitas anak muda di Maumere. Femy juga tengah mengembangkan asosiasi futsal putra dan putri di Kabupaten Sikka, AFKAB Sikka (Asosiasi Futsal Kabupaten Sikka). Setelah terbentuk, AFKAB mengadakan sejumlah turnamen futsal antar klub di tingkat kabupaten maupun provinsi. 

“Sikka menjadi barometer futsal di NTT. Futsal putri Sikka mendapat juara 1 untuk pekan olahraga provinsi NTT. Anak-anak Sikka itu luar biasa. Saya hanya mewadahi, meski bukan kerja berat.” 

AFKAB hanyalah salah satu contoh. Femy juga menyadari bahwa anak muda di Maumere punya ragam kreativitas lain yang butuh diwadahi. 

Bagaimana seni budaya masuk dalam perhatian pemerintah? 

“Kalau mau dibilang, terkait sektor kebudayaan mesti mendapat porsi lebih besar, itu yang belum tercapai. Karena saat ini ada kebutuhan-kebutuhan dasar yang masih menjadi prioritas,” kata Femy Bapa. 

“Kita mesti berkolaborasi baik dalam hal penyediaan infrastruktur, pendidikan, media, gerakan masyarakat. Ini adalah kerja panjang. Isu kebudayaan justru bersinggungan dengan semua sektor prioritas pemerintah,” ungkap Femy. 

Pemerintah Sikka juga melibatkan komunitas-komunitas yang ada di Maumere dalam Musrenbang  (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) sejak dua tahun terakhir. Ini merupakan sebuah langkah awal untuk mendekatkan komunitas-komunitas orang muda dengan pemerintah daerah agar ke depan, komunitas dan pemerintah tidak berjalan sendiri-sendiri. Femy berencana mengajak komunitas dan pemerintah untuk merancang agenda-agenda tahunan kabupaten. 

“Mungkin ke depan, kita bisa merancang agenda tahunan kabupaten yang melibatkan komunitas dan para pekerja kreatif. Jadi, teman-teman yang punya agenda kerja, atau event yang sudah pasti terlaksana, kita sinergikan dalam satu sistem. Tidak hanya pemerintah yang aktif tetapi mari kita sama-sama kolaborasi. Jadi, ada event pemerintah, komunitas, kemudian pihak-pihak lainnya.”

Kristoforus Relianus atau yang akrab disapa Kristo, warga lokaria dan pengamat politik berpendapat bahwa bagaimanapun juga, orang muda termasuk penggerak kebudayaan. Di Maumere, kreativitas anak muda mesti diperhitungkan dan mendapat dukungan dari pemerintah. 

Kristo menyebutkan indikator-indikator yang menunjukkan sebuah kota bisa menjadi kota kreatif menurut UNESCO. 

Pertama, pemerintah daerah mesti punya tiga program yang berhubungan dengan kegiatan di bidang kreatif dan berlangsung permanen tidak hanya di tingkat lokal, regional, tetapi juga di taraf internasional. Kedua, memiliki tata kota yang baik dengan sistem pelayanan publik yang terbuka serta mudah diakses. 

“Kita butuh jalan yang baik, penerangan, drainase, sistem transportasi, dan ruang publik yang baik.” 

Ketiga, ada banyak inisiatif warga yang mendukung pertumbuhan masyarakat di berbagai aspek. 

“Kita butuh kolaborasi. Kolaborasi akan membantu kita untuk menjaga sistem dalam ekosistem dan pekerja seni yang rentan. Ekosistem kreatif mesti dibangun dahulu dengan investasi bersama, lalu kemudian dijaga dengan baik,” ujar Kristo 

Di Indonesia, baru ada empat kota kreatif yang ditetapkan oleh UNESCO, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Pekalongan, dan Ambon. 

“Jika kebudayaan berjalan, ekonomi pun akan berjalan. Mesti ada anggaran khusus kebudayaan serta kesenian di Kabupaten Sikka untuk menjaga keberlanjutan aktivitas serta kehidupan para pekerja seni itu sendiri.” 

Menurut Om Kristo, kebudayaan yang maju bisa berkontribusi pada pemasukan daerah. Sebut saja saat komunitas mengadakan festival. Banyak orang yang berasal dari luar Flores yang terlibat. Otomatis, uang turut mengalir kepada UMKM yang ada, jasa penginapan, jasa kendaraan, dan lain-lain. 

“Problem pada pemerintah adalah parameter perhitungannya masih berpusat ke PAD. Padahal, kalau mau dilihat lebih teliti, pendapatan domestik bruto atau uang yang mengalir di level akar rumput jauh lebih besar dan cepat,” demikian Kristo.

Di akhir diskusi, pada kata penutupnya, Femy mengungkapkan bahwa mengupayakan Maumere menjadi kota kreatif bukanlah impian yang muluk-muluk.

“Menjadikan Maumere kota kreatif itu bukan mimpi yang terlalu jauh. Kita mungkin butuh waktu tetapi dari potensi yang sama-sama kita sudah lihat, saya kira kita bisa mulai membangunnya sama-sama. Sekali lagi kolaborasi penting sekali. Saya tidak mau janji yang terlalu tinggi dulu tapi dalam waktu dekat saya ingin undang kawan-kawan untuk diskusi bersama,” demikian Femy.

Tugas rumah seluruh warga Maumere tentu masih sangat banyak untuk mewujudkan ‘Maumere Kota Kreatif’. Menyiapkan sumber daya yang mumpuni, infrastruktur yang masih jauh dari berkualitas, kemampuan pemda dalam memitigasi para pekerja seni yang rentan, serta kebutuhan-kebutuhan dasar yang masih jadi prioritas utama pemerintah adalah beberapa di antaranya.  

Namun, jika kolaborasi dan sistem kerja yang sehat mulai berusaha dibangun dalam ekosistem seni budaya di Maumere, bukan tidak mungkin mimpi ini bisa pelan-pelan mulai dirintis pewujudannya. (6/6/2024)(carlin/eka)